Rabu, 03 Agustus 2011

Sepucuk Surat Untuk Akhirat


Entah kenapa ayah membeli sebuah rumah dekat pemakaman. Saat ditanya, beliau hanya menjawab, “biar kita selalu inget mati”. Ya, emang bener, tapi resikonya tiap malem serasa ditemenin orang mati, apalagi waktu harus pergi ke kamar mandi sendiri.. hhhiiii, merinding disko deh bro..
Tiap sore, melepas lelah setelah kuliah. Aku duduk diserambi rumah, memandangi deretan kuburan, dan beberapa bunga kemboja yang khas wanginya. Awalnya merasa takut, tapi setelah enam bulan berlalu, jadi terbiasa, bahkan sesekali memberanikan diri keluar malam hari, tau aja ketemu kuntilanak cantik,, heu,, jangan sampe deh.
Dua minggu yang lalu, ada seorang ibu yang meninggal. Ia dimakamkan tepat dibawah pohon kamboja tua. Mulai dari hari itu, makam itu menjadi favoritku. Bukan makamnya, tapi bocah kecil yang selalu datang tiap jam 5 sore, dengan membawa selembar kertas.
Selama dua minggu, tanpa terlewat satu haripun, bocah kecil itu selalu datang dengan sepucuk surat. Heran rasanya, apa gerangan yang ia tulis dikertas kecil itu, tagihan hutang, kredit motor, atau cuma kertas kosong. Hemm, daripada berprasangka, lebih baik langsung ke TKP.
Suatu siang saya datang ke makam tersebut, rasa heran pun semakin manjadi. Ternyata, disamping batu nisan ada sebuah kotak, yang bertuliskan “Kotak Surat”. Sempat terlintas dalam benak, emang ada yah tukang pos yang ngambil surat disini.. jangan-jangan.. heu.. serem.
Ngintip dalam kotak, ada tumpukan kertas putih didalamnya. Nampaknya itu lembaran kertas yang dihantarkan bocah itu. Dengan lagak layaknya maling, celingak-celinguk, tengok kanan dan kiri.. khawatir ketahuan orang lain. Saya pun berusaha untuk membuka kotak itu dengan bantuan sebuah paku bekas. Setelah beberapa menit, berhasil, berhasil, berhasil.. horee.. dengan gaya dora saya angkat tagan ke atas.
Lembar pertama, saya berusaha keras membaca tulisan bocah itu.
Ibu, ini Anita. Ibu baik-baik saja kan? Bu, hari ini nilai ujian Matematika Ani dapet seratus,, hebat kan bu..
Lembar kedua,
Ibu, ini  Anita. Ibu baik-baik saja kan? Bu, hari ini Anita dapet hadiah dari bu guru.. seneng deh
Lembar ketiga,
Ibu, ini Anita. Ibu baik-baik saja kan? Bu, besok Anita mau ulangan Biologi,, do’akan yah bu, moga Anita bisa bikin ibu seneng
Setiap lembar hampir sama isinya, selalu diawali dengan ibu, ini anita, ibu baik-baik saja kan? Lalu ia bercerita tentang pengalaman sekolahnya. Naluri detektif ku pun muncul, ada banyak pertanyaan dalam benak yang harus menemukan jawabannya.
Seperti biasanya, jam 5 sore bocah itu datang dengan secarik “surat” yang ia masukkan dalam kotak. Setelah beberapa menit, ia pun beranjak meninggalkan makam itu. Dengan hati-hati, aku berusaha mengikutinya, hingga sampai disebuah rumah kecil. Nampak seorang wanita separuh baya menyambut bocah itu dan mengajaknya masuk.
Rasa ingin tahu mendorongku untuk menemui wanita itu, berharap dapat penjelasan tentang kebiasaan bocah kecil yang sibuk mengirimkan “surat” untuk ibunya yang sudah tiada.
Wanita itu adalah bibinya, beruntung ia ramah dan mau menceritakan hal yang sebenarnya terjadi padaku.
“Setelah melahirkan Anita, ibunya mengalami penyakit pada matanya, yang membuatnya tak bisa melihat, penyakit itupun menjalar keseluruh tubuhnya hingga ia lumpuh dan lupa ingatan. Anita merasa bersalah atas kondisi ibunya. Sejak saat itu, setiap hari, sepulang sekolah, Anita selalu menemui ibunya yang terbaring sakit dikamar. Tiap dia datang, ibunya selalu bertanya, ini siapa? Dan Anita selalu menjawab, Ibu, ini Anita, ibu baik-baik saja kan?. Lalu ia menceritakan berbagai macam kisah pada ibunya, tapi hanya satu kisah yang membuatnya tersenyum adalah saat Anita mendapat prestasi disekolahnya”
“Anita selalu belajar dengan keras, berharap bisa terus menceritakan prestasinya, agar ibunya tersenyum. Namun sayang, penyakit yang menggerogoti tubuh ibunya semakin parah, hingga akhirnya ia pun meninggal. Tapi, semangat Anita tak pernah habis, ia selalu berusaha membuat ibunya tersenyum, juga mengobati rasa bersalahnya, sekalipun itu tak kan mungkin. Anita berpikir bahwa, surat yang ia kirimkan dapat dibaca oleh ibunya kelak di akhirat. Agar ibunya tidak kesepian, dan agar ia selalu diingat oleh ibunya tersayang”
—–
Sepulang dari rumah itu, aku tertegun diserambi rumah sambil melihat makam dibawah pohon kamboja itu. Menyaksikan bocah kecil nan polos datang tiap sore membawa sepucuk surat dengan kata yang sederhana. Sepucuk surat untuk akhirat.
Cerpen ini adalah karya Penulis Tamu
Dia sengaja meminta saya untuk publish cerpennya disini.
Dia adalah Dinda Agus Triana atau dikenal dengan blog “celoteh” nya
Dia adalah teman sekelas saya di kampus.
http://silfianaelfa.wordpress.com/2011/06/11/cerpen-sepucuk-surat-untuk-akhirat/#comment-3795